|
Info Kawasan Malioboro |
Jalan Malioboro adalah saksi sejarah perkembangan Kota Yogyakarta dengan
melewati jutaan detik waktu yang terus berputar hingga sekarang ini.
Membentang panjang di atas garis imajiner Kraton Yogyakarta, Tugu dan
puncak Gunung Merapi. Malioboro adalah detak jatung keramaian kota
Yogyakarta yang terus berdegup kencang mengikuti perkembangan jaman.
Sejarah penamaan Malioboro terdapat dua versi yang cukup melegenda,
pertama diambil dari nama seorang bangsawan Inggris yaitu Marlborough,
seorang residen Kerajaan Inggris di kota Yogjakarta dari tahun 1811 M
hingga 1816 M. Versi kedua dalam bahasa sansekerta Malioboro berarti
“karangan bunga” dikarenakan tempat ini dulunya dipenuhi dengan karangan
bunga setiap kali Kraton melaksanakan perayaan. Lebih dari 250 tahun
yang lalu Malioboro telah menjelma menjadi sarana kegiatan ekonomi
melalui sebuah pasar tradisional pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono I. Dari tahun 1758 – sekarang Malioboro masih terus
bertahan dengan detak jantung sebagai kawasan perdagangan dan menjadi
salah satu daerah yang mewakili wajah kota Yogyakarta. Sejak awal degup
jantung Malioboro berdetak telah menjadi pusat pemerintahan dan
perekonomian perkotaan. Setiap bagian dari jalan Malioboro ini menjadi
saksi dari sebuah jalanan biasa hingga menjadi salah satu titik
terpenting dalan sejarah kota Yogyakarta dan Indonesia. Bangunan Istana
Kepresidenan Yogyakarta yang dibangun tahun 1823 menjadi titik penting
sejarah perkembangan kota Yogyakarta yang merupakan soko guru Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dari bangunan ini berbagai perisitiwa
penting sejarah Indonesia dimulai dari sini. Pada tanggal 6 Januari
1946, Yogyakarta resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang
masih muda. Istana Kepresidenan Yogyakarta sebagai kediaman Presiden
Soekarno beserta keluarganya. Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai
Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti pelantikan
sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada tanggal 3
Juli 1947), serta lima Kabinet Republik yang masih muda itu pun
dibentuk dan dilantik di Istana ini pula. Benteng Vredeburg yang
berhadapan dengan Gedung Agung. Bangunan yang dulu dikenal dengan nama
Rusternburg (peristirahatan) dibangun pada tahun 1760. Kemegahan yang
dirasakan saat ini dari Benteng Vredeburg pertama kalinya diusulkan
pihak Belanda melalui Gubernur W.H. Van Ossenberch dengan alasan menjaga
stabilitas keamanan pemerintahan Sultan HB I. Pihak Belanda menunggu
waktu 5 tahun untuk mendapatkan restu dari Sultan HB I untuk
menyempurnakan Benteng Rusternburg tersebut. Pembuatan benteng ini
diarsiteki oleh Frans Haak. Kemudian bangunan benteng yang baru tersebut
dinamakan Benteng Vredeburg yang berarti perdamaian. Sepanjang jalan
Malioboro adalah penutur cerita bagi setiap orang yang berkunjung di
kawasan ini, menikmati pengalaman wisata belanja sepanjang bahu jalan
yang berkoridor (arcade). Dari produk kerajinan lokal seperti batik,
hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias
dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta
barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum
yang banyak ditemui di tempat lain. Pengalaman lain dari wisata belanja
ini ketika terjadi tawar menawar harga, dengan pertemuan budaya yang
berbeda akan terjadi komunikasi yang unik dengan logat bahasa yang
berbeda. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau bahkan
separohnya. Tak lupa mampir ke Pasar Beringharjo, di tempat ini kita
banyak dijumpai beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Di pasar
ini kita bisa menjumpai produk dari kota tetangga seperti batik Solo
dan Pekalongan. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar
mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah
bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja
barang-barang unik dengan harga yang lebih murah. Berbelanja di kawasan
Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan harga yang
ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi
para wisatawan. Malioboro terus bercerita dengan kisahnya, dari pagi
sampai menjelang tengah malam terus berdegup mengiringi aktifitas yang
silih berganti. Tengah malam sepanjang jalan Malioboro mengalun lebih
pelan dan tenang. Warung lesehan merubah suasana dengan deru musisi
jalanan dengan lagu-lagu nostalgia. Berbagai jenis menu makanan
ditawarkan para pedagang kepada pengunjung yang menikmati suasana malam
kawasan Malioboro. Perjalanan terus berlanjut sampai dikawasan nol
kilometer kota Yogyakarta, yang telah mengukir sejarah di setiap ingatan
orang-orang yang pernah berkunjung ke kota Gudeg ini. Bangunan-bangunan
bersejarah menjadi penghuni tetap kawasan nol kilometer yang menjamu
ramah bagi pengunjung yang memiliki minat di bidang arsitektur dan
fotografi.
sumber : visitingjogja.com